Memimpin Adalah Jalan Menderita: Catatan untuk Pilbup Kerinci 2024

Memimpin Adalah Jalan Menderita: Catatan untuk Pilbup Kerinci 2024

Selasa, 16 April 2024

Nani Efendi


Berbicara tentang pemilu maupun pilkada, hal pertama yang harus dipahami adalah "the right to vote and right to be candidate" (hak untuk memilih dan hak untuk dipilih). Artinya, pemilu atau pilkada bukan agenda memilih saja, tapi juga momentum untuk dipilih. 


Artinya, semua warga negara (yang telah memenuhi syarat) punya hak untuk "memilih" dan sekaligus juga hak untuk "dipilih". Tapi, khusus untuk "dipilih", walaupun setiap warga negara memiliki hak, masyarakatlah yang mempunyai kedaulatan menentukan di bilik suara. Masyarakat memiliki hak untuk menilai figur mana yang kira-kira layak dijadikan pemimpin berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. 


Memimpin adalah menderita


Berbicara kepemimpinan, ada kredo menarik dari Haji Agus Salim—berasal dari pepatah Belanda—yang sangat relevan untuk kita “teriakkan” lagi saat ini. Kredo itu berbunyi: “Leiden is lijden; memimpin adalah jalan menderita". Pemimpin adalah orang yang kesepian. 


Kredo itu mengingatkan juga pada sosok seperti Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya dari atas tandu. Dalam kondisi paru-parunya yang tinggal satu, Pak Dirman berpesan: “Jangan biarkan rakyat menderita. Biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.


Ketika seseorang sudah siap menjadi pemimpin, semestinya ia sadar bahwa ia telah memilih jalan menderita. Karena memikul amanah itu berat. Ia harus dipertanggungjawabkan, baik di hadapan rakyat, maupun di hadapan Tuhan. Tapi penderitaan itu hanya dipahami oleh pemimpin yang benar-benar memimpin dengan tulus, memimpin dengan hati.


Kredo ini yang tak disadari banyak orang. Kebanyakan menganggap jabatan adalah jalan pintas menuju kaya dengan segala fasilitas yang tersedia. Karena itulah ada ungkapan dari Goenawan Mohamad dalam "Catatan Pinggir"-nya di Majalah Tempo: "Hanya sedikit orang yang menganggap jabatan seperti belenggu. Kebanyakan orang melihat jabatan seperti gelang emas yang membuat orang lain iri."


Di samping itu, pemimpin juga disebut sebagai "orang yang kesepian". Mengapa demikian? Karena pemimpin itu tak punya istri, tak punya anak, tak punya keluarga. Sebagai contoh: si Badu jadi bupati. Yang punya anak dan istri itu adalah si Badu. Sedangkan "jabatan bupati"-nya tak mengenal dan tak mempunyai keluarga. 


Kelirunya kita: "bupati"—juga "gubernur", juga "presiden"—mempunyai anak, mempunyai istri. Sehingga anak dan istri "bupati" ikut-ikutan ngurus proyek, ngurusi "bagi-bagi" jabatan birokrasi, ngurusi bisnis keluarga, ngurusi APBD, perekrutan dan penempatan ASN, dsb. Semestinya, "bupati"—dalam pengertian jabatan—tak mengenal anak, atau istri atau keluarga. Ia berdiri "sendirian" di atas semua golongan: memimpin dengan adil. Itulah makna "pemimpin adalah orang yang kesepian".


Tapi sayang, kredo "memimpin adalah menderita" dan "pemimpin adalah orang yang kesepian" hanya dipahami oleh mereka yang memiliki hati tulus ingin memimpin. Bagi mereka yang orientasinya hanyalah kekuasaan dan nafsu duniawi semata, memimpin malah dianggap sebaliknya: "memimpin adalah menikmati". Menikmati segala fasilitas dan sumber-sumber daya ekonomi.


Menegakkan keadilan adalah tugas politik


Kita memang—di tengah banyaknya praktik korupsi yang melilit bangsa kita saat ini—membutuhkan pemimpin yang zuhud: yang punya kadar spiritualitas tinggi yang tak lagi tergiur untuk memperkaya diri dan keluarga, dan tak lagi silau dengan gemerlap dunia, tapi semata-mata ikhlas lillahita’ala mengabdi untuk umat demi mencari ridho Tuhan semata.



Kita merindukan pemimpin yang lurus seperti Umar Bin Khattab. Atau seperti Jose Mujica (Presiden Uruguay) yang menolak tinggal di istana, namun memilih hidup di ladang, menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal. Ia bergaji 20 ribu dollar, tapi 90 persen dari uang itu ia berikan untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay.


Ya, mungkin Mujica berpendapat seperti Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai—dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. 


Di Indonesia, ada Bung karno sebagai contoh. Dalam autobiografinya—berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis Cindy Adams (seorang jurnalis perempuan Amerika)—Bung Karno berkata, “Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tidak pernah menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal-soal seperti itu. Kemerdekaan adalah makna hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku.


Mungkin sulit mencari tokoh yang sanggup seekstrem pemimpin-pemimpin itu,  terlebih lagi di tengah kehidupan yang serba hedonis saat ini. Tapi, setidaknya kita bisa menemukan pemimpin yang, minimal, tidak terlalu bernafsu mengejar kekuasaan dan kekayaan duniawi serta nikmatnya fasilitas jabatan semata, namun benar-benar punya niat tulus untuk melayani. Memiliki ide kemajuan serta kemampuan memimpin masyarakat mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera.


Senada dengan kredo di atas, seorang teolog Protestan asal Amerika Serikat, Reinhold Niehbur (1892-1971), mengatakan: "The sad duty of politics is to establish justice in a sinful world; tugas sedih politik adalah menegakkan keadilan di dunia yang berdosa." 


Harapan banyak orang, mudah-mudahan melalui Pilbup Kerinci 2024 ini, akan "lahir" pemimpin yang berhati tulus dan siap menderita dalam perjuangan menegakkan keadilan, membangun kehidupan masyarakat yang lebih maju, makmur, bahagia, dan sejahtera.


NANI EFENDI, Aktivis dan Kritikus Sosial


Ingin Opini Anda Dibaca?
Ingin Opini Anda Dibaca?
Kirim Tulisan Anda lalu dapatkan kesempatan untuk diterbitkan di Website Kami.
Kirim