Hasil Pilkada: Antara Legalitas dan Legitimasi

Hasil Pilkada: Antara Legalitas dan Legitimasi

Rabu, 24 April 2024

 

Nani Efendi

Pilkada boleh usai. Tapi, proses demokrasi tak boleh berhenti. Merujuk ke pemikiran filsuf Jerman Jurgen Habermas—tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt—demokrasi itu idealnya berlangsung terus-menerus di ruang-ruang publik: berupa wacana, diskursus, perdebatan rasional, dialog kritis-argumentatif, bincang-bincang, dan tindakan komunikatif lainnya. Dari situlah diharapkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dapat terjadi.


Setelah calon kepala daerah terpilih dalam bilik suara, bukan berarti selesai juga proses demokrasi dan “kontrol sosial” dari masyarakat. Kebijakan-kebijakannya justru harus terus-menerus dilegitimasi dan dirasionalisasi. 


Pilkada hanyalah “demokrasi prosedural” saja. “Demokrasi substansial” itulah yang mesti terus berlangsung di ruang-ruang publik. Dalam tulisan ini, saya tak akan membahas persoalan demokrasi prosedural dan substansial secara panjang-lebar. Yang ingin saya jelaskan di sini: masalah legalitas dan legitimasi hasil pilkada. 


Legalitas


Kata “legal”, berasal dari bahasa Latin “lex”, yang berarti “hukum”. Legal berarti “sesuai dengan hukum”. Sesuatu dikatakan legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum (lex) atau peraturan yang berlaku. Legalitas berarti kesesuaian dengan hukum yang berlaku. 


Menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (1994), legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang politik. Karena sifat keterbatasannya.


Dalam konteks pilkada, hasil pemilihan dikatakan legal ialah jika telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, seperti misalnya UU Pemilu/Pilkada, peraturan-peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, dan regulasi-regulasi lainnya: mulai dari pemenuhan syarat-syarat pencalonan, proses pendaftaran calon, kampanye, sampai pencoblosan dan penghitungan suara. 


Jika terjadi pelanggaran hukum oleh calon, seperti praktik money politics ‘politik uang’, intimidasi, kecurangan, kekerasan, dan pelanggaran hukum lainnya, namun tak bisa dibuktikan secara hukum, calon tersebut, secara hukum (legalitas) tetaplah dianggap sah. Mengapa? Karena, meskipun pelanggaran itu benar-benar ada, ia harus terbukti sah dan meyakinkan bersalah terlebih dahulu, baru si calon dianggap tidak sah secara hukum.


Atau, contoh lain, aturan yang ada, misalnya, dianggap tidak baik, tidak mencerminkan substansi demokrasi dan kedaulatan rakyat, dan dipandang perlu di-judicial review ke MK atau MA, namun karena itulah aturan yang berlaku, maka tetaplah aturan itu yang diikuti. Sekalipun aturan itu buruk, misalnya, tak demokratis, tak adil, dan lain sebagainya. Itulah contoh kelemahan dalam positivisme hukum.


Tentang hasil pilkada, masyarakat yang waras mungkin tahu ada pelanggaran-pelanggaran hukum dan cara-cara yang tak etis dan tak bermoral dalam memperoleh suara atau dukungan, misalnya, tapi membuktikannya sangat sulit. Hasil pilkada tetaplah dianggap sah dan calon yang memperoleh suara terbanyak—terlepas bagaimana cara-cara mereka memperolehnya—tetap dianggap punya legalitas sebagai kepala daerah.


Ya, secara hukum memang sah. Tapi dalam hakikat berdemokrasi, di situ terdapat persoalan “legitimasi atau keabsahan” kekuasaan yang didapat. Jika legalitas bersifat hal-hal yang formal secara hukum yang berlaku, legitimasi melampaui tatanan hukum positif yang ada. Ia bicara sumber kekuasaan secara hakiki, bukan sekedar legal-formal. Ia berbicara dalam tataran etika politik (filsafat), bukan sekedar hukum positif semata.


Dalam demokrasi, sumber kekuasaan (power) itu adalah dari rakyat (people) itu sendiri, bukan hanya sekedar “dilegal-legalkan” berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Dengan kata lain, tidak cukup berdasarkan regulasi yang ada. Jika hanya berdasarkan regulasi yang ada, maka pemilu tidak lebih hanya sekedar alat atau sarana belaka untuk “melegalkan kekuasaan” seseorang atau sekelompok orang terhadap orang banyak.


Apa itu legitimasi kekuasaan?



Secara sederhana, legitimasi diartikan dengan “keabsahan”. Untuk lebih mudah memahami, saya berikan sebuah contoh: dalam pilkada, misalnya, terdapat dua pasang calon: calon A dan calon B. Calon A berhasil memperoleh suara terbanyak dalam pilkada. Tapi itu dilakukan dengan cara-cara melanggar aturan dan etika, seperti penggelembungan suara, politik uang, intimidasi, kekerasan, dan lain sebagainya. Hampir semua orang yang berakal sehat tahu praktik kecurangan yang dilakukan calon A. Tapi, karena berbagai sebab, masyarakat tak bisa membuktikan secara hukum. Akhirnya, calon A memperoleh suara terbanyak.


Calon B tidak menerima hasil pilkada dan berupaya mengajukan gugatan ke MK. Tapi, malangnya, di MK, ia tak mampu menghadirkan saksi-saksi maupun bukti-bukti yang sah dan meyakinkan majelis hakim. Akhirnya: gugatan ditolak. Calon A ditetapkan sebagai calon terpilih, dan berhak menjadi kepala daerah. Secara hukum atau legalitas, calon A dianggap sah sebagai kepala daerah. Mengapa? Karena pelanggaran hukum yang ia lakukan tidak bisa dibuktikan secara hukum juga. Walaupun pada faktanya, misalnya, calon B-lah yang mendapatkan dukungan murni dan terbanyak.


Itulah contoh sederhana perbedaan legalitas dan legitimasi. Legitimasi berbicara tentang substansi cara-cara seseorang memperoleh kekuasaan. Pertanyaan dasar legitimasi kekuasaan ialah: “Atas dasar apa Anda berhak memimpin kami? Siapa yang memberikan wewenang kepada Anda untuk memimpin kami?”


Dalam sistem demokrasi, kekuasaan itu dianggap punya legitimasi jika kekuasaan itu diperoleh dari rakyat itu sendiri. Itulah prinsip kedaulatan rakyat. Jadi, ada semacam “restu” atau persetujuan dari rakyat itu sendiri. Dan rakyat mendukung penuh orang yang telah diberi kekuasaan itu. 


Kalau kita imajinerkan, seolah-olah rakyat berkata: “Pimpinlah kami dan kami rela engkau menjadi pemimpin kami. Kami dukung engkau sepenuhnya. Tapi, kami berhak meluruskan engkau jika engkau memimpin tak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.” 


Begitulah kira-kira hakikat legitimasi. Idealnya, kepala daerah terpilih itu tak hanya berdasarkan legalitas formal semata, tapi benar-benar memperoleh persetujuan murni atau legitimasi dari rakyat. 


NANI EFENDIkritikus sosial        


                                                                                                              


Ingin Opini Anda Dibaca?
Ingin Opini Anda Dibaca?
Kirim Tulisan Anda lalu dapatkan kesempatan untuk diterbitkan di Website Kami.
Kirim