Tiga Cara Menghadapi Absurditas

Tiga Cara Menghadapi Absurditas

Jumat, 22 Maret 2024

Nani Efendi


Albert Camus digolongkan sebagai seorang filsuf eksistensialis, meskipun Camus sendiri suka menyebut dirinya seniman. Martinus Suhartono dalam tulisannya berjudul "Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan" (Tim Redaksi Driyarkara [peny], Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993, h.163-175), menyebutkan, ada tiga credo Albert Camus: pertama, pada manusia terdapat kerinduan terdalam (keinginan, kedambaan); kedua, ternyata dunia tak mampu memuasi atau memenuhi keinginan manusia itu; ketiga, muncullah keabsurdan setiap kali manusia berhadapan dengan dunia.


Absurditas dalam gambaran Camus


Untuk menggambarkan hidup yang absurd, Camus menggunakan kisah Sisifus dalam mitologi Yunani. Sisifus adalah raja yang dihukum oleh para dewa karena menyalahgunakan kekuasaannya. 


Sisifus dihukum dengan cara mendorong batu besar ke atas puncak bukit. Setelah batu itu sampai di puncak, menggelinding lagi ke bawah dan Sisifus harus mendorong lagi ke atas. Begitulah seterusnya tanpa henti. 


Itulah gambaran hidup yang absurd dalam pandangan Camus. Kehidupan manusia masa kini, seperti ASN, buruh, petani, nelayan, dll, misalnya, tak ubah seperti yang dialami Sisifus, bahkan tak kalah absurd: mengerjakan tugas-tugas rutin yang sama setiap hari.


Hidup sehari-hari manusia, tulis Martinus Suhartono, bila disadari, merupakan suatu yang absurd: pagi bangun tidur, sarapan, bekerja di kantor atau pabrik, istirahat, makan, pulang, makan, tidur, paginya bangun lagi, begitu seterusnya: berlangsung setiap hari dalam ritme dan rutinitas yang sama, sampai tiba-tiba muncul pertanyaan "mengapa". 


Dengan pertanyaan ini, lanjut Martinus, timbullah kebosanan bercampur keheranan, tapi bangkit pula kesadaran. Di saat itulah yang absurd mulai dirasakan. Kata Camus dalam bukunya Mitos Sisifus (h.24), "Yang absurd adalah konfrontasi antara dunia yang irasional dengan keinginan akan kejelasan yang panggilannya menggema dalam hati manusia."


Camus menjelaskan: yang absurd timbul karena konfrontasi antara kebutuhan manusia dengan kesunyian (kebisuan) dunia yang tak masuk akal (Ibid, h.166). Manusia ingin hidup terus-menerus, namun yang ditemui di dunia adalah kekecewaan karena keinginan itu tak dapat dipenuhi di dunia. Dunia menyajikan keterbatasan manusia: penyakit, perang, penderitaan, kematian. Manusia cemas, terasing, takut (Martinus Suhartono, op. cit., h.165-166).


Tiga cara menghadapi absurditas


Menghadapi hidup yang absurd itu, Camus menjelaskan ada tiga cara atau sikap manusia. Pertama, bunuh diri (secara fisik). Kedua, bunuh diri filosofis (leap of faith): melompat ke agama atau ke keyakinan-keyakinan tertentu. Ketiga, bertahan dengan cara menjalani dan menyenangi hidup dengan gembira, dengan membuat nilai-nilai hidup versi kita sendiri dan hidup secara otentik. Cara ketiga ini disebut juga "memberontak" di hadapan absurditas.


Cara pertama dan kedua dimungkinkan dilakukan manusia dalam menghadapi kehidupan yang absurd. Tapi Camus tak menganjurkan orang melakukan yang dua itu. Yang diinginkan Camus ialah cara ketiga: memberontak (membangkang). Camus mencontohkan pada Sisifus. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus bahagia seperti itu.


Goenawan Mohamad mengartikan memberontak dengan "membangkang"—membangkang terhadap semua nilai-nilai ciptaan orang lain atau masyarakat. Bahasa sederhana: hidup secara eksistensial (menjadi seorang eksistensialis). 


Membangkang artinya tak mau tunduk, tak mau patuh, dan tak mau ikut-ikutan pada cara hidup yang berlaku secara mainstream dalam kehidupan sosial masyarakat. Ia ingin hidup dengan versi sendiri secara otentik. 


Kalau saya menginterpretasikan secara bebas: jadilah diri sendiri. Hiduplah sesuai dengan kesukaan, bakat, dan minat kita sendiri: diri kita yang sebenarnya—diri yang sejati. Tak perlu ikut-ikutan sesuatu yang pada dasarnya tak kita sukai, tak kita minati. Walaupun orang banyak meminatinya. Sikap seperti itulah yang disebut "membangkang". 


Membangkang pada mainstream dan tren kehidupan masyarakat banyak. Tak ikut-ikutan pada apa kata orang atau tren orang (adat-istiadat, tradisi, cara dan gaya hidup orang kebanyakan, moralitas, pilihan politik, dan lain sebagainya). 


Kata Albert Camus, "Siapa pemberontak (pembangkang) itu? Seorang yang mengatakan 'tidak'. Juga seorang yang berkata 'ya' segera setelah ia berpikir sendiri. Seorang budak yang selama hidupnya menaati perintah yang diberikan oleh orang tuanya, tiba-tiba memutuskan bahwa ia tidak dapat menaati suatu perintah lain." (Ibid, h. 169). 



Kalau menurut Martinus Suhartono, memberontak yang dimaksud Camus adalah memberontak terhadap setiap ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan manusia (Ibid, h.163-175). Orang berontak karena ia menolak menyerah pada keadaan yang dipandangnya keterlaluan dan juga karena ia yakin bahwa kedudukan dirinya ini dapat dibenarkan. Dalam hatinya ia berkata: "Saya memiliki hak untuk ini." Jadi, berontak berarti menyatakan "ya" dan "tidak" sekaligus (Ibid, h. 169).


Pemberontakan muncul dalam situasi irasional yang bercampur dengan keadaan yang tak adil dan tak dapat dimengerti. Pemberontakan berseru menuntut keteraturan di tengah kekacauan, kesatuan di tengah perpecahan. Tujuan pemberontakan adalah mengubah (Ibid, h. 168-169


Dan kesadaran akan yang absurd sebenarnya sudah merupakan pemberontakan. Dengan menyatakan sesuatu sebagai absurd, orang sudah melakukan suatu perbandingan antara apa yang pada kenyataannya ada dengan apa yang menurut dia seharusnya ada (Ibid, h.168).


Martinus Suhartono menyebutkan: bahwa Camus menemukan satu-satunya tempat berpijak di tengah samudera absurditas, yaitu pemberontakan. Orang harus menghadapi absurditas dengan gagah berani, bertahan dengan tabah, dan memberontak dengan jalan melibatkan diri seutuhnya pada nasib sesamanya. 


Memberontak dengan menjadi pejuang yang menentang ketidakadilan. Orang harus berani berkorban diri bagi sesamanya, jelas Martinus, walaupun tanpa ganjaran surga. Menjadi "orang suci tanpa adanya Tuhan". 


"Aku memberontak, maka kita ada," kata Camus, sebagaimana dikutip Setyo Wibowo, dari karya Camus L'homme revolte (hlm.38). Manusia tak boleh menghindar terhadap Kebathilan. Manusia harus terlibat. "Moral keterlibatan Camusian adalah bertempur di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut," tulis Setyo Wibowo. "Yang bisa kita buat adalah 'mencegah supaya korban tidak jatuh lebih banyak lagi'." Jadi, yang penting, menurut Camus, adalah: melawan Kebathilan, bertindak kongkret membela manusia.


Nani Efendi, aktivis, pemikir, penulis


Referensi:


Camus, Albert, Mite Sisifus, Yogyakarta: Penerbit Simpang, 2015.


Suhartono, Martinus, "Albert Camus: Dari yang Absurd ke Pemberontakan", dalam Tim Redaksi Driyarkara (peny), Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993.


Wibowo, A. Setyo, "Terlibat di Sisi Korban Menghadapi Kebathilan Absurd: Etika Politik Albert Camus" dalam F. Budi Hardiman dkk, Empat Esai Etika Politik, Jakarta: Penerbit www.srimulyani.net, bekerjasama dengan Komunitas Salihara, 2011.


Ingin Opini Anda Dibaca?
Ingin Opini Anda Dibaca?
Kirim Tulisan Anda lalu dapatkan kesempatan untuk diterbitkan di Website Kami.
Kirim